jump to navigation

SEJARAH PROVINSI RIAU 21 Juni 2010

Posted by Mariz in Uncategorized.
add a comment

ASAL KATA RIAU, Secara etimologis kata “Riau” berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai”. Misalnya Rio de Janairo artinya Sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw” dan sekarang dikenal tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.Ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak dikenal kata “meriau” yang artinya musim ikan bermain-main., di Kuantan meriau dimaksudkan suatu cara mengumpulkan ikan pada suatu tempat untuk mudah ditangkap dalam jumlah besar. Dari meriau ini berubah menjadi kata Riau. Disamping itu dalam masyarakat Riau Kepulauan, dikenal pula kata “Rioh”. Kata Rioh berarti suara yang ramai di pusat kerajaan Melayu Riau. Pusat kerajaan itu terletak di sebelah hulu sungai Carang yang ramai suaranya karena kesibukan perdagangan yang keluar masuk pusat kota. Pusat perdagangan itu dikenal dengan nama “Bandar Rioh” yang didirikan oleh Sultan Ibrahim Syah (1671-1682) dalam Kemaharajaan Melayu. Bila dihubungkan pengertian Rio yang artinya sungai dengan kata Rioh yang artinya suara yang ramai, terdapat suatu pengertian yang hampir sama. Sungai Riau ini terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka. Dalam perkembangan selanjutnya kata Riau dipergunakan untuk menamakan pulau-pulau yang terletak di sebelah tenggara Semenanjung Malaya. Kesatuan pulau-pulau itu terkenal dengan istilah “Pulau Segantang Lada”. Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan Provinsi lain yang ada di Indoensia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958). Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah swatantra tingkat II : Bengkalis, Kampar, Indragiri, Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25) Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956 No. 19 Dengan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman. Pelantikan tersebut dilakukan ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.Seiring dengan terjadinya pemberontakan PRRI telah menyebabkan kondisi perekonomian di Provinsi Riau yang baru terbentuk semakin tidak menentu. Untuk mengatasi kekurangan akan makanan, maka diambil tindakan darurat, para pedagang yang mampu dikerahkan untuk mengadakan persediaan bahan makanan yang luas. Dengan demikian dalam waktu singkat arus lalu lintas barang yang diperlukan rakyat berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali.Di Riau Daratan yang baru dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di Kabupaten mulai ditertibkan. Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat ditunjuk Tengku Bay, di Bengkalis Abdullah Syafei. Di Pekanbaru dibentuk filial Kantor Gubernur yang pimpinannya didatangkan dari kantor Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt. Wan Abdurrachman dibantu oleh Wedana T. Kamaruzzaman. Pemindahan Ibukota Karena situasi daerah telah mulai aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam Negeri) telah mulai difikirkan untuk menetapkan ibukota Provinsi Riau secara sungguh-sungguh, karena penetapan Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958 No. Sekr. 15/15/6. Untuk menanggapi maksud kawat tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh pertimbangan yang cukup dapat dipertanggung jawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada Gubernur supaya membentuk suatu Panitia khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No.21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Riau. Panitia ini telah berkeliling ke seluruh Daerah Riau untuk mendengar pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan panitia tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa sebagai ibukota terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini langsung disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. Untuk merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution. Sejak itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam waktu singkat dapat menampung pemindahan kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan, perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Penpres No.6/1959 sekaligus direalisir. Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota Pekanbaru belum mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah gedung sekolah Pei Ing untuk tempat upacara. Dengan di lantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota. Aparatur pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri dari : 1. Wan Ghalib 2. Soeman Hs 3. A. Muin Sadjoko Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik beratkan pada : 1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat. 2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah 3. Menyempurnakan aparatur. Program tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah otonom. Disamping itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain. Untuk penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt. Mangkuto Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam negeri Ipik Gandamana. Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay. Masuknya unsur-unsur Nasional dan Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat itu sudah merupakan ketentuan yang tidak tertulis, bahwa semua aparat pemerintahan harus berintikan “NASAKOM”. Kemudian Penpres No. 6 tahun 1959 diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan tidak melalui ketentuan perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari atas.Sejalan dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front Nasional Daerah Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur Nasakom. Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik dan organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya di dalam Front Nasional ini bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut cita-cita haruslah dipersatukan.Kedudukan pimpinan harian Front Nasional ini merupakan kedudukan penting, karena mereka menguasai massa rakyat. Karena itu pulalah Pimpinanan Harian tersebut didudukkan di samping Gubernur Kepala Daerah, yang merupakan anggota Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi ini, maka golongan komunis telah dapat merebut posisi yang kuat. Ditambah pula dengan tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka peranan komunis dalam Front Nasional tersebut sangat menonjol. Disamping penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15 Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya. Kotamadya Pekanbaru : Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay. Kabupaten Kampar : Bupati KDH R. Subrantas Kabupaten Indragiri Hulu : Bupati KDH. H. Masnoer Kabupaten Indragiri Hilir : Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf Kabupaten Kepulauan Riau : Bupati KDH Adnan Kasim Kabupaten Bengkalis : Bupati KDH H. Zalik Aris Sewaktu pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura sekaligus menjadi kacau.Untuk menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program yang meliputi semua bidang kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang diadakan besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima secara mutatis mutandis. Tetapi nyatanya pemeritah pusat waktu itu tidak dapat melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat. Dalam bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia. Dengan perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan. Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di bidang ekonomi dan keamanan. Untuk menanggulangi bidang ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT. Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor keluar negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.Pada tahun-tahun terakhir masa jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah berpendapat bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia), fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.Kebangkitan Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan Malaysia menjadi terputus.Demikianlah penderitaan, konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan suasana semakin panas di Riau. Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan tokoh-tokoh PKI di Riau makin meningkat. Mereka dengan berani secara langsung menyerang lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan kesempatan dalam berbagai forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai pihak yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Cina yang berkewargaan negara RRC memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam tanggal 30 September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama dengan PKI Riau mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati Hari Angkatan Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu peringatan yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI beserta ormas-ormasnya memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional Riau yang langsung dipimpin oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada tanggal 30 September 1965. Ternyata kegiatan dan pergerakan PKI beserta ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan yang syah. Kondisi ini akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau tidak sia-sia, rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin Achmad diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember 1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau. Dengan diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969. Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu : 1. Mr. S.M. Amin Periode 1958 – 1960 2. H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 – 1966 3. H. Arifin Ahmad Periode 1966 – 1978 4. Hr. Subrantas.S Periode 1978 – 1980 5. H. Prapto Prayitno (Plt) 1980 6. H. Imam Munandar Periode 1980 – 1988 7. H. Baharuddin Yusuf (Plh) 1988 8. Atar Sibero (Plt) 1988 9. H. Soeripto Periode 1988 – 1998 10. H. Saleh Djasit Periode 1998 – 2003 11. H.M. Rusli Zainal Periode 2003 – 2008 12. H.M. Rusli Zainal Periode 2008 – sekarang Seiring dengan berhembusnya angin reformasi telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri. Salah satu perwujudannya adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia, dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi mejadi Provinsi ke 32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah;

(1) Kota Pekanbaru

(2) Kampar

(3) Pelalawan

(4) Rokan Hulu

(5) Inderagiri Hulu

(6) Kuantang Singingi

(7) Inderagiri Hilir

(8) Bengkalis

(9) Siak

(10) Rokan Hilir

(11) Kota Dumai,

Dan terakhir pada Jumat 19 Desember 2008 Jam 10.00 WIB, RUU Pemekaran Kabupaten Kepulauan Meranti disahkan, sehingga mulai tanggal 19 Desember 2008 Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi si Bungsu Kab dan Kota yang ada di Provinsi Riau

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura di Riau 21 Juni 2010

Posted by Mariz in Uncategorized.
add a comment
Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini.

Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.

Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.

Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak,
tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat.

Selama berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di Buantan, Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi, yang lebih dikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.

Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946. Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari jajahan Belanda. Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari Republik Indonesia.

Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu, Tanah Putih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai dengan Kerajaan Siak.

Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.

Urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak

1. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 – 1744)
2. Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760)
3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5. Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)
6. Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)
7. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)
8. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)
9. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)
11. Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 – 1889)
12. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 – 1908)
13. Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 – 1946).

Sumber: Melayuonline

Asal Mula Nama Bengkalis 21 Juni 2010

Posted by Mariz in Uncategorized.
add a comment

Mw cerita ni dikit tentang Asal mula nama Bengkalis, cerita tu sebenarnya udh lama qu tau tapi blom smpet di tulis. Nah sekarang baru sempet, soalnya tadi ge bolak-balik file2 lama.dulu aku pernah tanya ma temen aku tentang asal mula nama bengkalis tu dari mana sich ?.
Masa putra bengkalis gak tau nama pulaunya sendiri kan aneh, malu donk klo sampe di Tanya gak tau. He,,,, dulu kononnya gini critanya.
Tapi sebelumnya temen2 du2k dulu ye….”betul,,,betul,,,betul,,,” kate upin & ipin.

Kota yang tertata rapi nan indah yang berada di sebuah pulau yang berbatasan langsung dengan selat malaka dan selama ini mendapat julukan sebagai Negeri Junjungan itu rupanya tak lepas dari sejarah yang membawa kota itu sampai seperti sekarang ini. asal mula nama bengkalis itu dulunya diambil dari Kata ” Mengkal” yang mempunyai arti sedih atau sebak dan ” Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian (ini bukan Ujian Nasional ya kya anak SMA aja nich,heeeeeeeee) kata ini yang di ambil dari ungkapan raja kecil kepada pembantu dan pengikutnya sewaktu baginda sampai di pulau Bengkalis pada waktu itu yang ingin merebut tahta kerajaan Johor( di Malaysia men..) dengan ungkapan ” Mengkal rasanye hati ini karena tidak diakui sebagai Sultan yang memerintah negeri ini, namun tak mengapelah, kite masih kalis dalam menerime keadaan ini ” (kaedahnye bahasa melayu sikit…)dari pembicaraan itu sehingga menjadi buah bicara masyarakat setempat bahwa baginda yang sedang Mengkal tapi masih Kalis, akhirnya ungkapan sang baginda itu menjadi rangkaian perkataan ” oh baginda sedang Mengkalis ” dari kisah inilah timbul kata mengkalis, bahkan berubah menjadi kata Bengkalis.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Pulau Bengkalis pada tahun 1722. Beliau di sambut oleh batin Senggoro dan beberapa Batin pucuk suku “asli” Batin Merbau, Batin Selat Tebing Tinggi dll. setelah di ketahui silsilah Raja Kecil, dia (Raja Kecil) yang merupakan pewaris kerajaan Johor. hal itu semakin menumbuhkan rasa hormat Batin-Batin yang ada kepada Raja Kecil, sehingga mereka mengusulkan agar Raja Kecil membangunkan kerajaannya di pulau Bengkalis.
Namun melaui musyawarah beliau dengan Datuk Laksemana Bukit Batu, Datuk Pesisir, Datuk Tanah Datar, Datuk Lima Puluh dan Datuk Kampar dan para Batin, di sepakati bahwa pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak, pusat kerajaan itu didirikan pada tahun 1723. Kerajaan inilah kemudian berkembang menjadi kerajaan Siak Sri Indra Pura, yang pernah menguasai kawasan yang luas di pesisir pantai Sumatra bagian utara dan tengah sampai ke perbatasan Aceh.

Dalam Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Di Bengkalis-lah wawasan mendirikan kerajaan Siak di mufakati. Dan di Bengkalis pula bantuan moral dari rakyat di padukan ketika beliau keluar dari Bintan. Sejarah juga mencatat, setelah belanda semakin berkuasa. Maka Bengkalis pula yang menjadi tempat kedudukan residen pesisir timur pulau Sumatra berdasarkan perjanjian dengan Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifudin menyerahkan pulau bengkalis kepada Hindia Belanda tanggal 26 Juli 1823.
Sejarah juga mencatat sebelum kedatangan Raja Kecil, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka. Terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Bahkan sejak Tapung (Petapahan) di temui timah (1674) dan emas.peran Bengkalis dalam hubungan Melaka dengan kerajaan di pesisir timur Sumatra semakin besar, terutama dimasa berdirinya kerajaan Gasib. Di masa pemerintahan Sultan Mansur Syah tahun (1459-1477) Gasib di kuasai oleh Melaka, raja Gasib yang belum menganut agama Islam di Islamkan dan di beri gelar Sultan ” Ibrahim” dan di jadikan wakil Sultan Melaka di Gasib, sejak itu kerajaan Gasib di bawah kepimpinan Sultan Ibrahim ( Sebelum di Islamkan bernama Megat Kudu) yang menjadi kawasan pengembangan Islam.

Begitulh teman2 katenye,

Sumber : Situs resmi Kab.Bengkalis

ASAL USUL : Kota Dumai 21 Juni 2010

Posted by Mariz in Uncategorized.
add a comment
http://upload.wikimedia.org

JAKARTA, MEDIA INDONESIA – LEGENDA putri tujuh begitu dekat dengan asal-muasal Kota Dumai, Propinsi Riau. Legenda itu berkembang secara lisan di masyarakat Dumai. Bukti dari legenda itu adalah adanya makam Putri Tujuh di dalam kompleks kilang minyak Pertamina Unit Pengolahan (UP) II Dumai.

Konon pada zaman dahulu, berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung di daerah Dumai yang dipimpin seorang ratu bernama Cik Sima.

Ratu itu memiliki tujuh putri yang rupawan yang dikenal dengan sebutan Putri Tujuh. Mayang Sari, merupakan anak bungsu dari Cik Sima dan paling cantik di antara tujuh putrinya.

Kulitnya lembut diibaratkan sutra, wajahnya elok bagai bulan purnama, bibirnya merah bak delima, dan alisnya bagai semut beriring. Rambutnya yang panjang dan ikal digambarkan seperti terurai bagai mayang. Putri bungsu itu juga dikenal dengan Mayang Mengurai.

Suatu ketika, tujuh putri itu dikisahkan sedang mandi di Lubuk Sarang Umai. Kegiatan mereka tanpa disengaja dilihat oleh Pangeran Empang Kuala. Sang pangeran begitu takjub dengan kecantikan Mayang Mengurai.

Saking terpesonanya, sang pangeran bergumam, ”Gadis cantik di Lubuk Umai, cantik di Umai. Ya..ya.. Dumai, Dumai.” Penyebutan itulah yang kemudian diyakini menjadi asal-muasal kata Dumai.

Pangeran yang kasmaran itu kemudian mengirim utusan ke Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk meminang Putri Mayang Sari. Namun pinangan tersebut ditolak oleh Ratu Cik Sima. Alasannya, sang pangeran hanya berhak meminang putri tertua dari tujuh bersaudara itu. Sementara itu, putri paling bungsu, yakni Mayang Sari hanya berhak dipinang bila keenam saudara tertuanya sudah disunting.

Penolakan atas alasan adat tersebut membuat Pangeran Empang Kuala murka. Ia pun mengerahkan pasukan untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu Cik Sima pun tidak takut tantangan perang tersebut. Sebelum berperang, ratu mengungsikan tujuh putrinya ke hutan di sebuah lubang tertutup kayu dan berlapis tanah serta terlindungi pepohonan. Ratu juga membekali putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan.

Perang yang berkecamuk membuat Ratu lupa dengan kondisi anaknya. Setelah empat bulan perang dan berakhir damai, Ratu baru ingat dengan tujuh putrinya. Sayangnya mereka didapati sudah meninggal di dalam lubang persembunyainnya karena tidak makan dan minum. Lubang tempat persembunyian tersebut kemudian jadi tempat peristirahatan terakhir tujuh putri.

Legenda Putri Tujuh tersebut kemudian diabadikan sebagai nama Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina UP II Dumai, Riau. (BG/N-1)

(Sumber MEDIA INDONESIA, 18 November 2008)

Putri Kaca Mayang, Asal Mula Kota Pekanbaru 21 Juni 2010

Posted by Mariz in Uncategorized.
add a comment

Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.

Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.

* * *

Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.

Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan:

apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang lain ia kemaruk

apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang lain semena-mena

Orang tua-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam bentuk ungkapan di antarnya:

apa tanda Melayu jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati

apa tanda Melayu jati,
memanfaatkan hak milik berhati-hati

apa tanda Melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela

Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda buda berpesan,
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan

Dalam untaian pantun juga dikatakan:

buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah